Oleh : Yosafat N.Manullang
Saya hendak menjawab dengan pendekatan komparatif, tahun
1971 Hongkong itu membangun ICAC(independent
commission against corruption ). ICAC itu ibaratnya menjadi kiblat
pemberantasan korupsi di dunia karena ada salah satu jendral besar yang
diangkat oleh ICAC Hongkong pada waktu itu. Apa yang dilakukan oleh ICAC Hongkong karena dia adalah negara
dibawah kendali Inggris pada waktu itu, dia bawa orang-orang polisi,PNS,segala
macam itu yang berintegritas untuk bekerja di ICAC Hongkong. Jadi,dia
menciptakan wadah baru yang benar-benar steril dari pemain-pemain lama dan
aktor-aktor yang terindikasi melakukan korupsi. Di Indonesia kita lihat di
tengah Korupsi itu maka lahirlah KPK dengan spirit baru, orang-orang
baru,walaupun ada orang-orang lama tapi dia membawa agenda-agenda baru
pemberantasan korupsi itu.
Kalau kita
lihat komparasi yang terjadi di Indonesia dan terjadi di Hongkong ada spirit
kepala negara dan kepala pemerintahan dan itu sistemnya adalah parlementer,perdana
mentri mereka mendorong upaya lebih maksimal untuk pemberantasan korupsi itu.
Bedanya dengan Indonesia, kepala negara tidak lahir sebagai pemimpin agenda
pemberantasan korupsi . itu program pertama. Kenapa? Karena,pemilu kita lahir
dari proses-proses yang sebenarnya rawan dan banyak praktek kecurangan. Kalau
pemilu melahirkan aktor-aktor yang lahir dari praktek kecurangan tentu dia akan
berhutang budi kepada penegak hukum,penyelenggara pemilu,dan lain-lain. Sektor ini yang kemudian sulit untuk di reform, bagiamana kemudian akan me-reform kepolisian dan kejaksaan kalau
justru seorang kepala daerah, presiden maupun pejabat public berhutang budi
kepada mereka untuk melakukan kejahatan electoral (kejahatan pemilu) sehingga
ini yang kemudian kita berada di dalam kondisi great-lock (saling-mengunci) Kepala daerah, pejabat public ,dikunci
oleh polisi,jaksa yang kemudian tahu kesalahan-kesalahan mereka pun kemudian
kepala daerah sampai dengan presiden berhutang budi kepada mereka, tahu apa
kesalahan-kesalahan jaksa ini, jadi sama-sama tahu kesalahan dan tidak mau
memperbaikinya karena ada hutang-hutang budi tersebut.
Maka, apa intinya ? reformasi penegakan hukum
khususnya di sector penegak hukum di Indonesia tidak berjalan begitu
maksimal,tidak berjalan begitu efektif,dan praktis hanya mengandalkan satu
institusi penegak hukum saja dengan kata lain “Satu bahu hanya bekerja”
seolah-olah beban itu hanya diberikan kepada KPK saja bekerja untuk memberantas
tindak pidana Korupsi. Pertanyaan besarnya, dimana presiden selaku kepala
negara (chief of state) yang harusnya
memimpin gerakan-gerakan pemberantasan korupsi?, dimana kemudian polisi dan
jaksa ? mohon maaf saya tidak mengeneralisasi karena masih banyak juga polisi
dan jaksa yang baik, tapi kita sebut saja institusinya walaupun oknum yang
bekerja disitu,tapi pertanyaannya dimana polisi dan jaksa yang kemudian harus
bekerjasama memberantas tindak pidana korupsi membantu kerja-kerja kepolisian
dan kejaksaan, yang terjadi hari ini apa ? Kalau KPK itu mengatakan ,
kadangkala ada calon tersangka, jadi
mereka tahu KPK sedang pengumpulan barang bukti dan keterangan (pelumbaket),dia
kemudian mengontak polisi agar menangani kasus itu terlebih dahulu, jadi di
“kaveling” dulu oleh mereka supaya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan supaya tidak diambil oleh KPK dan
ujung-ujungnya SP3 yang mereka harapkan kasus itu tidak berjalan 2 tahun,3
tahun bahkan bertahun-tahun berlalu.
Yang mau
saya katakan adalah konklusinya,kenapa pemberantasan korupsi berjalan di tempat
? law enforcement kita adalah maju sebenarnya,
penegakan hukum oleh KPK itu sulit dibantah,sulit tidak diakui sebagai sebuah
gerak maju yang dilakukan oleh KPK,tetapi menjadi tidak maksimal karena
pemberantasan korupsi itu tidak dipimpin secara konkrit tanpa basa-basi oleh
seorang kepala negara/kepala pemerintah dan yang paling penting adalah reform sector yang belum bisa dijangkau
sampai dengan hari ini secara maksimal adalah kepolisian dan kejaksaan. Menjadi
aneh polisi dan jaksa mengeluh gaji kecil tapi kalau kita lihat apa yang mereka
miliki rumahnya disana-sini,dimana-mana. Banyak Polisi punya asset di Australia
dan banyak polisi yang punya tabungan luar biasa di Singapura, darimana uangnya
?.
Saya
tentu apresiasi oleh apa yang dilakukan
LSM Antikorupsi yang dibangun oleh teman-teman di negeri ini karena ini adalah
gerakan konkrit. Kita sering mengeluh misalkan saja ada pemerasan yang sering dilakukan
oleh oknum aparatur-aparatur lurah dan kecamatan, tatkala membuat KTP kemudian harus minta uang 100rb padahal
ada kurang-lebih 1000 orang warga yang mengurus KTP,bayangkan masyarakat yang
isinya 1000 warga hanya dikadalin oleh 2 atau 3 orang aparat di kelurahan,tidak
ada perlawanan disitu. Maka butuh sebenarnya perlawanan yang kolektif di
masyarakat,teori sederhananya begini ; Kejahatan yang tercerai-berai akan
dikalahkan oleh Kejahatan yang dilakukan secara terorganisir,itulah kira-kira
pandangan awal saya dengan contoh-contoh yang simple,yang kenapa membuat
korupsi itu menjadi sulit untuk diberantas karena belum ada perlawanan secara
kolektif dan juga belum ada kemarahan secara massif. Kenapa kemarahan secara
massif ? saya menganalogikan begini , pernakah kita berpikir ; tidak ada
sejarahnya di Indonesia itu lurah,camat, apalagi pejabat public di level DPR
dan kementrian dikeroyok oleh warga karena melakukan korupsi. Saya bukan membenarkan upaya pengeroyokan
,bukan mengompor-ngompori kawan-kawan supaya mengeroyok tapi ini analogi yang
menarik, tidak ada pernah satupun aparat penegak hukum polisi,jaksa, dan
pejabat negara yang melakukan kejahatan korupsi dikeroyok oleh warga. Tapi betapa
banyaknya copet di metromini itu dikeroyok oleh warga,analoginya kan begitu.
Kalau yang dicopet itu adalah 1 orang,kenapa 1 metromini orang menjadi marah ?
padahal yang diambilkan bukan uang kita. Sekarang pertanyaannya kalau pejabat
negara mengorupsi dana bansos efeknya adalah semua warga yang berhak untuk
menerima dana bantuan sosial tersebut,tapi apakah pernah orang yang gagal
menerima bantuan sosial karena dananya dikorupsi pernah marah kepada
penyelenggara negara yang melakukan
korupsi tersebut? Padahal yang diambil uang kita ,sementara di metromini
yang diambil bukan uang kita. Konklusinya adalah, kita benci kepada korupsi
karena menonton orang yang melakukan korupsi setiap hari tapi belum melakukan
perlawanan secara kolektif dan belum menimbulkan kemarahan secara massif
,kemarahan-kemarahan kita hanyalah kemarahan yang temporer sifatnya ketika
menonton televisi setelah selesai menonton TV kemudian dimatikan hilang lagi
marah kita dan kembali lagi untuk mentolerir sikap-sikap yang koruptif. Bagaimana
menurut saudara ?