Minggu, 14 Agustus 2022

Korupsi ; Suatu Pendekatan Komparatif


Oleh : Yosafat N.Manullang
Saya hendak menjawab dengan pendekatan komparatif, tahun 1971 Hongkong itu membangun ICAC(independent commission against corruption ). ICAC itu ibaratnya menjadi kiblat pemberantasan korupsi di dunia karena ada salah satu jendral besar yang diangkat oleh ICAC Hongkong pada waktu itu. Apa yang dilakukan oleh  ICAC Hongkong karena dia adalah negara dibawah kendali Inggris pada waktu itu, dia bawa orang-orang polisi,PNS,segala macam itu yang berintegritas untuk bekerja di ICAC Hongkong. Jadi,dia menciptakan wadah baru yang benar-benar steril dari pemain-pemain lama dan aktor-aktor yang terindikasi melakukan korupsi. Di Indonesia kita lihat di tengah Korupsi itu maka lahirlah KPK dengan spirit baru, orang-orang baru,walaupun ada orang-orang lama tapi dia membawa agenda-agenda baru pemberantasan korupsi itu.

Kalau kita lihat komparasi yang terjadi di Indonesia dan terjadi di Hongkong ada spirit kepala negara dan kepala pemerintahan dan itu sistemnya adalah parlementer,perdana mentri mereka mendorong upaya lebih maksimal untuk pemberantasan korupsi itu. Bedanya dengan Indonesia, kepala negara tidak lahir sebagai pemimpin agenda pemberantasan korupsi . itu program pertama. Kenapa? Karena,pemilu kita lahir dari proses-proses yang sebenarnya rawan dan banyak praktek kecurangan. Kalau pemilu melahirkan aktor-aktor yang lahir dari praktek kecurangan tentu dia akan berhutang budi kepada penegak hukum,penyelenggara pemilu,dan lain-lain.  Sektor ini yang kemudian sulit untuk di reform, bagiamana kemudian akan me-reform kepolisian dan kejaksaan kalau justru seorang kepala daerah, presiden maupun pejabat public berhutang budi kepada mereka untuk melakukan kejahatan electoral (kejahatan pemilu) sehingga ini yang kemudian kita berada di dalam kondisi great-lock (saling-mengunci) Kepala daerah, pejabat public ,dikunci oleh polisi,jaksa yang kemudian tahu kesalahan-kesalahan mereka pun kemudian kepala daerah sampai dengan presiden berhutang budi kepada mereka, tahu apa kesalahan-kesalahan jaksa ini, jadi sama-sama tahu kesalahan dan tidak mau memperbaikinya karena ada hutang-hutang budi tersebut.

 Maka, apa intinya ? reformasi penegakan hukum khususnya di sector penegak hukum di Indonesia tidak berjalan begitu maksimal,tidak berjalan begitu efektif,dan praktis hanya mengandalkan satu institusi penegak hukum saja dengan kata lain “Satu bahu hanya bekerja” seolah-olah beban itu hanya diberikan kepada KPK saja bekerja untuk memberantas tindak pidana Korupsi. Pertanyaan besarnya, dimana presiden selaku kepala negara (chief of state) yang harusnya memimpin gerakan-gerakan pemberantasan korupsi?, dimana kemudian polisi dan jaksa ? mohon maaf saya tidak mengeneralisasi karena masih banyak juga polisi dan jaksa yang baik, tapi kita sebut saja institusinya walaupun oknum yang bekerja disitu,tapi pertanyaannya dimana polisi dan jaksa yang kemudian harus bekerjasama memberantas tindak pidana korupsi membantu kerja-kerja kepolisian dan kejaksaan, yang terjadi hari ini apa ? Kalau KPK itu mengatakan , kadangkala ada calon tersangka, jadi  mereka tahu KPK sedang pengumpulan barang bukti dan keterangan (pelumbaket),dia kemudian mengontak polisi agar menangani kasus itu terlebih dahulu, jadi di “kaveling” dulu oleh mereka supaya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan  supaya tidak diambil oleh KPK dan ujung-ujungnya SP3 yang mereka harapkan kasus itu tidak berjalan 2 tahun,3 tahun bahkan bertahun-tahun berlalu.

Yang mau saya katakan adalah konklusinya,kenapa pemberantasan korupsi berjalan di tempat ? law enforcement kita adalah maju sebenarnya, penegakan hukum oleh KPK itu sulit dibantah,sulit tidak diakui sebagai sebuah gerak maju yang dilakukan oleh KPK,tetapi menjadi tidak maksimal karena pemberantasan korupsi itu tidak dipimpin secara konkrit tanpa basa-basi oleh seorang kepala negara/kepala pemerintah dan yang paling penting adalah reform sector yang belum bisa dijangkau sampai dengan hari ini secara maksimal adalah kepolisian dan kejaksaan. Menjadi aneh polisi dan jaksa mengeluh gaji kecil tapi kalau kita lihat apa yang mereka miliki rumahnya disana-sini,dimana-mana. Banyak Polisi punya asset di Australia dan banyak polisi yang punya tabungan luar biasa di Singapura, darimana uangnya ?.


 Saya yakin kalau ada teman-teman yang bapaknya polisi/jaksa,mudah-mudahan polisi/jaksa yang bersih. Tapi kalau tidak, coba sesekali bertanya jadi kritis itu harus dibangun dari keluarga dahulu. Kalau ada sikap permisif itu muncul dilihat dari kalangan keluarga. Bukan budaya korupsi yang sebenarnya dilanggengkan di Indonesia tapi budaya memberi yang kemudian itu berefek kepada korupsi. Saya kutip ini dari budayawan yang mengatakan bahwa “Indonesia itu terbiasa dengan budaya memberi” contohnya begini, kalau kita lihat seringkali kita datang ke mall dan ada tulisan di seragam petugas parkir disitu no tipping(tidak ada tip) kira-kira begitu ,tapikan kita tetap memberikan tip 2 ribu/3 ribu dengan alasan bahwa “nggak enak”,”nanti dikira pelit”,mobil sudah dibantu segala macam padahal sudah ada tulisan disitu no tipping. Karena kultur memberi itu hidup di kita maka kita sering memberikan hal-hal itu ke petugas parkir ,termasuk juga dengan skala yang lebih besar kita sudah dibantu pengurusan KTP yang sebenarnya gratis tapi selalu ada budaya memberi tip di kita dikasih 20rb,30rb untuk uang rokok dan sebagai ucapan terimakasih. Itu menjadi kultur kemudian budaya memberi itu,apa yang terjadi disitu ? tanpa sadar kita sudah memupuk budaya korup disitu yang kemudian menganggap mereka pegawai negeri (amtenar) mereka biasa diberi dengan 20rb,30rb ujung-ujungnya  apa ? ketika dia tidak diberikan oleh orang lain,mereka akan meminta sendiri uang 20rb,30rb untuk tip. Itu yang kemudian terjadi karena kultur masyarakatpun biasa memberi, kultur masyarakatpun biasa permisif menganggap bahwa korupsi itu adalah sesuatu yang lumrah dan biasa dilakukan, dan tidak ada gerakan massif untuk melawan korupsi itu.

Saya tentu  apresiasi oleh apa yang dilakukan LSM Antikorupsi yang dibangun oleh teman-teman di negeri ini karena ini adalah gerakan konkrit. Kita sering mengeluh misalkan saja ada pemerasan yang sering dilakukan oleh oknum aparatur-aparatur lurah dan kecamatan, tatkala membuat  KTP kemudian harus minta uang 100rb padahal ada kurang-lebih 1000 orang warga yang mengurus KTP,bayangkan masyarakat yang isinya 1000 warga hanya dikadalin oleh 2 atau 3 orang aparat di kelurahan,tidak ada perlawanan disitu. Maka butuh sebenarnya perlawanan yang kolektif di masyarakat,teori sederhananya begini ; Kejahatan yang tercerai-berai akan dikalahkan oleh Kejahatan yang dilakukan secara terorganisir,itulah kira-kira pandangan awal saya dengan contoh-contoh yang simple,yang kenapa membuat korupsi itu menjadi sulit untuk diberantas karena belum ada perlawanan secara kolektif dan juga belum ada kemarahan secara massif. Kenapa kemarahan secara massif ? saya menganalogikan begini , pernakah kita berpikir ; tidak ada sejarahnya di Indonesia itu lurah,camat, apalagi pejabat public di level DPR dan kementrian dikeroyok oleh warga karena melakukan korupsi.  Saya bukan membenarkan upaya pengeroyokan ,bukan mengompor-ngompori kawan-kawan supaya mengeroyok tapi ini analogi yang menarik, tidak ada pernah satupun aparat penegak hukum polisi,jaksa, dan pejabat negara yang melakukan kejahatan korupsi dikeroyok oleh warga. Tapi betapa banyaknya copet di metromini itu dikeroyok oleh warga,analoginya kan begitu. Kalau yang dicopet itu adalah 1 orang,kenapa 1 metromini orang menjadi marah ? padahal yang diambilkan bukan uang kita. Sekarang pertanyaannya kalau pejabat negara mengorupsi dana bansos efeknya adalah semua warga yang berhak untuk menerima dana bantuan sosial tersebut,tapi apakah pernah orang yang gagal menerima bantuan sosial karena dananya dikorupsi pernah marah kepada penyelenggara negara yang melakukan  korupsi tersebut? Padahal yang diambil uang kita ,sementara di metromini yang diambil bukan uang kita. Konklusinya adalah, kita benci kepada korupsi karena menonton orang yang melakukan korupsi setiap hari tapi belum melakukan perlawanan secara kolektif dan belum menimbulkan kemarahan secara massif ,kemarahan-kemarahan kita hanyalah kemarahan yang temporer sifatnya ketika menonton televisi setelah selesai menonton TV kemudian dimatikan hilang lagi marah kita dan kembali lagi untuk mentolerir sikap-sikap yang koruptif. Bagaimana menurut saudara ?